Featured Image (#Positive Vibes Only atau Toxic)

#PositiveVibesOnly, atau Toxic?

Hi Venners!

Di masa pandemi COVID-19 ini, kita disarankan untuk selalu tinggal di rumah. Angan-angan kita pun tentang liburan di rumah dan selalu punya waktu buat rebahan di setiap harinya semakin nyata dan bisa direalisasikan bukan? Awalnya tentu saja menyenangkan, tapi makin lama kok makin buat pusing kepala ya? Nah venners, menurut data dari Direktur Pencegahan & Pengendalian Masalah Kesehatan Jiwa & Napza Kemenkes, yakni Celestinus Eigya Munthe mengatakan jika situasi pandemi COVID-19 ini nyatanya menyebabkan adanya peningkatan sebesar 9% mengenai gangguan kesehatan mental seperti depresi. Tentu saja hal ini akan berdampak panjang jika tidak segera diatasi, kasus bunuh diri juga akan semakin meningkat. Seperti halnya data dari WHO, “suicide is the second leading cause of death among 15 to 29 years old, Globally.”

Angka yang sangat tinggi bukan? Orang dengan kesehatan mental yang terganggu ini biasanya terjadi karena sering memaksakan dirinya untuk selalu bersikap positif di kala mentalnya mengatakan tidak baik-baik saja, lho! Hal ini juga didukung karena kurangnya support dari orang di sekitarnya yang selalu apatis terhadap emosi yang ia rasakan. Memendam perasaan bukanlah sebuah solusi, maka dari itu fenomena ini sering kita sebut dengan istilah “Toxic Positivity”

Jadi, toxic positivity itu apa sih sebenernya?

Toxic positivity adalah perilaku dimana seseorang harus selalu terlihat positif dan memaksa emosi negatifnya untuk segera keluar manakala ia sedang bersedih. 

Menurut Pubmed (2018)

” orang yang biasanya menghindar ketika ia sedang mengalami emosi negatif, akan berakhir dengan emosi atau perasaan yang lebih buruk dan berdampak panjang pada fenomena despresi sehingga dirinya tidak bisa rileks. “

Menurut Dr. Jiemi Ardian

” Specialist Kedokteran Jiwa terdapat Alasan kita bisa berpotensi menjadi pelaku toxic positivity “
  • Kita percaya adanya dua jenis emosi, yakni emosi negatif & positif (kita selalu mendiskreditkan emosi negatif karena kualitasnya, seolah-olah emosi positif lebih baik daripada emosi negatif, padahal kedua emosi ini sama penting peranannya bagi mental health kita, kedudukannya setara) > bisa kita ubah perspektifnya jadi disebut dengan emosi yang pleasant & unpleasant (membuat kita nyaman & tidak)
  • Dari kecil tidak terbiasa mengenal emosi (orang tua selalu berusaha untuk menghindari agar anak tidak berlarut-larut dalam emosi sedih, marah, dll. Kita selalu dituntut untuk segera menyingkirkan emosi negatif dari kecil) seakan-akan emosi negatif itu terlihat keliru dan tidak mendapatkan validasi. Hal ini sangat berpengaruh kepada sifat less-empathy ketika orang lain sedang berduka, kita selalu ingin mereka cepat melupakan emosi negatif tersebut, terdengar seperti menyepelekan apa yang orang lain rasakan.
  • Kita tidak bisa meregulasi diri sendiri dari cerita sedih seseorang, cerita kesedihan seseorang mempengaruhi sisi emosional kita dimana kita memiliki tekad atau keinginan tidak mau membuka luka lama lagi (jika sedang mendengarkan cerita yang relate dengan kilas balik hidup kita)
  • Ingin cepat mengakhiri emosi negatif, layaknya filosofi batu baterai, kehidupan itu memang diliputi dengan sisi positif & negatif. Manusia memerlukan kedua sisi emosi tersebut, namun tentu saja jangan tenggelam dalam salah satu sisinya yang akan membuat hidup kita tidak seimbang dan berpengaruh ke dalam beberapa aspek juga nantinya.

Ciri – ciri toxic positivity:

  • Merasa bersalah ketika merasakan emosi negatif
  • Cenderung menyembunyikan emosi negatif dan mengabaikan masalah yang ada
  • Ciri kedua itu akan berpengaruh ke feedback kita terhadap orang lain. Kita akan Cenderung mengabaikan emosi orang lain ketika mereka sedang merasa sedih atau marah karena kita menganggap mereka tidak memiliki sikap yang positif dalam menghadapi emosi negatifnya (tidak bisa memvalidasi emosi orang lain)

Dampak toxic positivity:

  • Miskomunikasi: menganggap remeh emosi yang dirasakan orang lain, membuat dirinya semakin rendah diri, dan malu terhadap masalah yang sedang ia hadapi,
  • Terlalu banyak positive thingking tapi kurang realistis terhadap cara penyelesaian yang akan diambil harus seperti apa,
  • Terkesan cuek dengan kenyataan yang akan dihadapi kedepannya karena terlalu optimistis.

Lantas, Apa yang harus kita lakukan jika menjadi pelaku dalam toxic positivity?

  • Acknowledging, terima setiap emosi yang kita rasakan dan jangan menyangkalnya karena hal ini dapat berpengaruh ke tingkat stress dalam tubuh. Jika memang sulit untuk berbagi kisah ke orang lain, kita bisa menuliskannya di Jurnal atau memo aja kok, venners. Penelitian menurut University Of California menyatakan, jika kita mengungkapkan perasaan ke dalam kata-kata ternyata bisa mengurangi intensitas emosi seperti kesedihan, kemarahan, dan rasa sakit.
  • Validating, akui bahwa kita pernah atau sedang merasa tidak baik-baik saja asal jangan terjebak terlalu lama di dalamnya.
  • Paying attention to our emotions is actually in act of self love in a way for us to transform, begitupula ketika kita menghadapi emosi orang lain. Jangan memaksa orang untuk bersikap tidak sedih dikala mereka sedang down. Lebih baik bantu mereka untuk berbicara secara terbuka untuk membagikan perasaannya lebih jauh. Hindari untuk membandingkan kehidupan mereka dan diri kita sendiri. Berikan solusi terbaik yang bisa kita lakukan dengan cara mengulurkan tangan atau bantuan kepada mereka, berempati, tapi tidak untuk memaksa mereka untuk selalu bersikap baik-baik saja.

Kesimpulan: 

  • Mengakui dan membiarkan emosinya tersampaikan dengan baik tanpa adanya sikap “buru-buru” supaya cepat kembali ke emosi positif yang semu karena tingkat toleransi seseorang terhadap masalah yang ia hadapi itu berbeda-beda.
  • Validasi dulu emosi diri kamu sendiri – menerima diri sendiri, maka kamu akan mengerti dan bisa mengakui emosi orang lain nantinya.

Sumber: https://www.voaindonesia.com/a/kemenkes-gangguan-jiwa-meningkat-akibat-pandemi/6259880.html 

Penulis: Nisrina Nuraini

Edvan Global Link,
Your Education and Career Planning Partner