Featured Image (Hustle Culture - Gila Kerja atau Kecanduan Kerja)

Hustle Culture: Gila Kerja atau Kecanduan Kerja?

Hi venners!

Kira-kira kalian pernah ngerasain gak sih kerja terus seharian tanpa henti yang menyebabkan fisik kalian lelah berkepanjangan? Kalo iya, mungkin kamu udah salah menerapkan gaya hidup, jangan sampai jadi hustle culture lho!

Tapi sebenernya, hustle culture itu apa sih?

Yuk, simak penjelasan berikut ini!

Hustle culture atau yang sering kita sebut dengan istilah “Gila Kerja” ternyata tidak bisa lepas dengan kebiasaan dalam hal kecanduan bekerja. Menurut McShane dan Van Glinow (2010) Workaholic biasanya merupakan individu yang ambisius dalam arti ia memiliki keinginan yang kuat untuk menjadi sukses di usia muda, maka dari itu ia menggunakan semua waktunya untuk bisa produktif dan bermanfaat tanpa memedulikan waktu luangnya barang sedikit pun.

Fenomena ini terjadi saat banyak perusahaan startup di masa kini yang menormalisir kebiasaan “lembur.” Mereka menganggap bahwa para entreperneur muda bisa sukses karena kegigihannya dalam bekerja dari pagi hingga malam hari.  Maka dari itu, melihat role model yang selalu menerapkan prinsip “Gila Kerja,” maka sekarang banyak anak muda yang menerapkan ambisiusnya serta tekad yang dimiliki untuk selalu produktif dan mengesampingkan egonya untuk memiliki waktu istirahat yang semata-mata untuk menyenangkan diri sendiri dari kejenuhan bekerja.

Gaya hidup hustle culture ini semakin didukung keberadaannya karena beberapa kali para entreperneur terkenal dunia seperti Elon musk (pendiri Tesla Motors) dan Jack Ma (Pendiri Ali Baba Corp) mengeluarkan opini-opini pendukung yang menyatakan bahwa hustle culture merupakan salah satu jalan penting menuju kesuksesan. Pada 26 November 2018, Elon musk membuat cuitan di akun twitternya mengenai hustle culture, “Orang yang hanya bekerja selama 40 jam per-minggu tidak bisa mengubah dunia. Furthermore, jika kita mencintai apa yang kita kerjakan, jam kerja akan terasa singkat dan tidak akan sampai membebanimu.”

Begitu pula dengan pernyataan dari Jack Ma di laman Weibo (social media site khusus untuk warga China), “Prinsip 996 adalah ketika kamu bekerja dari jam 9 pagi hingga jam 9 malam berulang kali dalam kurun waktu 6 hari. Hal tersebut sangatlah umum dan wajar, apalagi jika kamu tinggal di negara yang memiliki perusahaan besar startup seperti di China.”

Selain peran seorang role model yang sukses, anak muda di masa kini pun dituntut untuk selalu bersaing di lapangan. Hal ini tentu saja berdampak pada feedback setelah mereka bekerja keras, di jaman sekarang tidak ada fasilitas bagus yang nilainya gratis, bukan? Maka dari itu, bekerja keras demi mendapatkan pundi-pundi rupiah sedari masa muda sangat penting untuk menyokong gaya hidup para generasim muda di masa kini.

Berbagai statement dan faktor tersebutlah yang membuat semua orang jadi tertarik dengan gaya hidup cepat dan produktif, namun disisi lain tidak memiliki benefit bagi kesehatan dirinya. Survey menyatakan bahwa dampak buruk lebih besar dihasilkan dari prinsip hustle culture ini.

Salah satu kasus besar yakni terjadi di Jepang pada April 2015, istilah ini disebut juga dengan “Karoshi” yang berarti kematian karena lelah bekerja atau terlalu lama bekerja tanpa henti. Matsuri Takashi, perempuan berusia 24 tahun membunuh dirinya sendiri karena stress yang tinggi, disebutkan bahwa ia telah bekerja selama lebih dari 100 jam sebulan sebelum kematiannya. Matsuri menuliskan keluhan di social media tentang pekerjaannya seminggu sebelum kejadian, ia berkata bahwa fisik dan mentalnya benar-benar hancur karena kelelahan bekerja, melebihi rata-rata waktu yang seharusnya.

Hal ini juga memunculkan beberapa dampak lain bahwa sebenarnya manusia itu tidak bisa selalu “multitasking”, sejatinya apa yang disebut dengan “produktif” ialah hal-hal yang bisa membawa manfaat pada diri kita, jika sudah berlebihan itu namanya bukan produktif, tapi sudah masuk ke dalam kategori “hustle culture.

  • Dampak lain yang bisa kita tinjau dari hustle culture ini adalah sebagai berikut;

1.       Berkurangnya “Work Life Balance,”

2.       Munculnya generasi “Burnout

3.  Menciptakan budaya baru, yakni “Neolizm,” yang berarti Kapitalisme Modern dimana kita semua harus bisa selalu survive dengan perubahan dunia yang dinamis ini.

Lantas apa saja hal yang sekiranya bisa membantu kita dalam mengurangi budaya Gila Kerja ini?

Pertama, kita harus sadar bahwa hustle culture itu bisa mengganggu kesehatan dan berbahaya jika dilakukan secara berkelanjutan,

Kedua, menciptakan work life balance seperti mencoba untuk selalu meluangkan waktu bagi diri sendiri ditengah kesibukan yang padat,

Terakhir menentukan apa yang kita rasakan terhadap suatu aktivitas yang berlangsung dalam waktu jangka panjang, hal ini bisa kita list dengan dibantu oleh beberapa technology tools yang sering digunakan di zaman sekarang seperti membuat list dalam memo, google calendars, atau menggunakan aplikasi bernama “notions.” (Dilansir dari laman web FK, UNAIR).

Sumber:

https://edition.cnn.com/2019/04/15/business/jack-ma-996-china/index.html
https://fk.unair.ac.id/dampak-dan-cara-mengatasi-hustle-culture/

Youtube Gitasav: https://www.youtube.com/watch?v=p6o_y56zQMA 

https://www.theguardian.com/international


Penulis: Nisrina Nuraini

Edvan Global Link,
Your Education and Career Planning Partner